Beranda | Artikel
APABILA WALI TIDAK MAU MEWALIKAN ATAU MENGHALANGI PERNIKAHAN
Minggu, 14 Februari 2021

Oleh: Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Kebahagiaan dalam sebuah pernikahan merupakan dambaan setiap insan, baik dia berstatus sebagai pengantin, keluarga ataupun kerabat. Namun terkadang kebahagiaan itu susah untuk diraih. Hambatan sudah mulai menghadang sejak awal pernikahan. Persetujuan dari wali terkadang begitu susah didapat. Banyak alasan diungkap oleh para wali ketika memilih tidak setuju. Di antara alasan tersebut ada yang merupakan alasan syar’i, tapi terkadang juga tidak sesuai syar’i. Apa yang harus dilakukan saat wali tidak setuju?

Berikut penjelasannya: -red Dalam masalah ini ada dua kasus:

Pertama: Wali tertinggi yaitu bapak kandungnya sendiri tidak mau mewalikannya.

Maka, dalam kasus yang pertama ini hak perwaliannya berpindah kepada sulthan (penguasa) atau petugas yang mewakili penguasa. Karena apabila bapak kandungnya sendiri yang menjadi wali tertinggi tidak mau mewalikannya, samalah artinya bahwa wanita itu tidak mempunyai wali. Kalau dia tidak mempunyai wali, maka dengan sendirinya hak kewaliannya berpindah dan dipegang oleh sulthan atau wakilnya.

Kedua: Para wali berselisih antara yang mau mewalikannya dengan yang tidak mewalikannya.

Misalnya, wali tertinggi atau yang paling dekat dengannya yaitu bapak kandungnya tidak mau mewalikannya, sedangkan wali yang di bawahnya atau yang lebih jauh dari yang pertama seperti saudara kandungnya atau pamannya mau mewalikannya. Dalam masalah ini, para Ulama telah berselisih pendapat tentang:

  • Apakah hak kewalian berpindah dan dipegang oleh wali yang jauh?
  • Apakah sah pernikahannya kalau wali yangjauh ini menikahkannya, sementara wali yang paling dekat dengannya yaitu bapaknya masih ada dan tidak menyetujuinya atau tidak mau mewalikannya?

Sebagian Ulama mengatakan nikahnya sah.

Alasan mereka, karena tertib kewalian nikah merupakan hukum syar’i yang menjadi hak bagi wali. Jika wali yang paling dekat tidak mau mewalikannya, maka wali yang lebih jauh mempunyai hak untuk menikahkannya.

Sebagian Ulama yang lain mengatakan bahwa nikahnya tidak sah dan wajib di fasakh (dipisahkan atau dibatalkan) apabila telah terjadi pernikahan.

Alasan mereka, karena tertib kewalian nikah merupakan hukum syar’i yang menjadi hak Allâh, bukan hak wali. Oleh karena itu, apabila wali yang paling dekat kepada wanita itu tidak mau menikahkannya, maka wali yang lebih jauh tidak mempunyai hak untuk menikahkannya. Dengan demikian hak kewalian ada pada sulthan atau wakilnya.

Menurut hemat saya, madzhab yang kedua inilah yang benar dan tepat –insyâ Allah– sesuai dengan zhahir hadits dan ketegasan sabda Nabi n :

عن عائِشةَ رَضِيَ اللهُ عنها، أنَّ رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال: ((أيُّما امرأةٍ نَكَحَت بغيرِ إذنِ وَلِيِّها فنِكاحُها باطِلٌ، فنِكاحُها باطِلٌ، فنِكاحُها باطِلٌ، فإنْ دخَلَ بها فلها المَهرُ بما استحَلَّ مِن فَرجِها، فإن اشتَجَروا فالسُّلطانُ وَليُّ مَن لا وليَّ له

Dari Aisyah (dia berkata): Sesungguhnya Rasûlullâh n telah bersabda: “Perempuan mana saja yangnikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, maka nikahnya batil, maka nikahnya batil. Jika dia (laki-laki yang menikahinya tanpa wali itu) telah berhubungan dengannya, maka dia berhak memperoleh maharnya karena dia telah menghalalkan farjinya. Jika (para wali) berselisih, maka Sulthan adalah sebagai wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”.

Hadits ini shahîh. Telah dikeluarkan oleh Abu Dawud (no: 2083), at-Tirmidzi (no: 1102 dan ini adalah lafazhnya) dan Ibnu Mâjah (no: 1879) dan yang selain dari mereka sebagaimana telah dijelaskan takhrijnya panjang lebar dengan sangat ilmiyyah sekali oleh al Imam Albani dalam kitabnya Irwâul Ghalîl (no: 1840).

Sabda Beliau n yang artinya: “Jika mereka berselisih …” yang dimaksud adalah para wali yang menghalangi akadnya. Hal ini sebagaimana telah diterangkan oleh Shan’âni dalam kitabnya Subulus Salâm Syarh Bulûghil Marâm ketika mensyarah (menjelaskan) hadits di atas (3/118). Demikian juga Mubârakfûri dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi Syarh Tirmidzi ketika mensyarah (menjelaskan) hadits di atas (7/228).

Kemudian dalam dua kasus di atas ketika hak kewalian berpindah kepada sulthan atau wakilnya dan sebelum menikahkan wanita itu, sulthan atau wakilnya (seperti petugas KUA atau hakim) memanggil walinya, menanyakan dan meminta penjelasan secara terperinci, “Apa yang menyebabkannya tidak mau mewalikan dan menikahkan anak perempuannya?”

Jika Qâdhi (hakim) setelah mendengar dari wali wanita itu bahwa yang menjadi penyebabnya adalah alasan syar’iyyah, misalnya calon suami anaknya itu seorang ahli bid’ah atau orang yang meninggalkan shalat atau seorang peminum khamr dan yang semakna dengannya, maka Qâdhi wajib menerima alasan syar’iyyah itu dan tidak mencabut hak kewaliannya. Kemudian Qadhi menasehati wanita itu agar meninggalkan calonnya dan memilih calon suami yang lain yang lebih baik akhlak dan agamanya.

Akan tetapi, apabila alasan wali tidak syar’iyyah, misalnya calon suami anaknya itu tidak kaya, tidak punya gelar, tidak terpandang, atau lain suku dan yang semakna dengannya, maka Qâdhi tidak boleh menerima alasan yang tidak syar’iyyah itu.

Kemudian Qâdhi memberitahukan dan menasehati walinya dalam beberapa hal, di antaranya:

Pertama: Bahwa alasannya tidak syar’iyyah.

Oleh karena itu, hak kewaliannya akan dicabut dan berpindah kepada sulthan (penguasa) atau yang mewakilinya kalau dia tetap bersikeras tidak mau mewalikan dan menikahkan anaknya, padahal kedua-duanya telah saling suka dan ingin menikah. Sedangkan nikah adalah perbuatan suci dan

mulia yang menjadi Sunnah Nabi Muhammad n yang tidak patut dihalangi kecuali dengan alasan syar’iyyah. Perhatikanlah sabda Beliau n :

عن عائِشةَ رَضِيَ اللهُ عنها قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ ، و مَنْ كان ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ ، و مَنْ لمْ يَجِدْ فَعليهِ بِالصِّيامِ، فإنَّ الصَّوْمَ لهُ وِجَاءٌ

Dari Aisyah, dia berkata, “Rasûlullâh n bersabda, ‘Nikah itu adalah Sunnahku. Barangsiapa tidak (mau) mengamalkan (mengikuti) sunnahku, maka dia bukanlah dariku1. Nikahlah! Karena sesungguhnya aku akan berbangga (dengan banyaknya) kamu (pada Hari Kiamat) di hadapan semua umat. Oleh karena itu barangsiapa telah mempunyai kemampuan (untuk menikah) maka hendaklah dia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaklah dia shaum (puasa), karena sesungguhnya shaum itu baginya merupakan tameng (sebagai penghalang syahwatnya).’

Hadits shahih lighairihi. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Majah (no: 1846).

Hadits ini telah dinyatakan shahih –yakni lighairihi– oleh Imam al-Albani di Silsilah Shahîhah (no: 2383)

Kedua: Apabila keduanya telah sama-sama suka dan saling mencintai, janganlah keduanya dihalangi!

Segeralah kamu menikahkan keduanya! Sebagaimana sabda Nabi n :

لم يُرَ لِلْمُتَحابَّيْنِ مثلُ النكاحِ

Dari Ibnu Abbâs z , dia berkata, “Telah bersabda Rasûlullâh n : “Tidak ada bandingannya bagi dua orang bercinta seperti (keadaan keduanya) setelah menikah.”

Hadits Shahih. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Mâjah (no: 1847) dan yang selainnya sebagaimana telah jelaskan takhrîjnya dengan panjang lebar oleh amirul mu’minin fil hadits pada abad ini yaitu Imam al-Albani di kitabnya yang sangat berharga yaitu Silsilah Shahîhah (no: 624).

Yakni, apabila ada di antara pemuda dan pemudi kita yang telah sama-sama suka dan senang atau yang telah lewat masa mudanya, maka segeralah menikahkan keduanya secepat mungkin. Karena percintaan setelah keduanya menikah tidak ada tandingannya. Saya kira cukuplah sabda Nabi n yang mulia ini akan memberikan kesadaran kepada para orang tua dan para wali yang selalu menundanunda bahkan menghalangi pernikahan anak-anaknya. Semoga…

Ketiga: Kewajiban bapak adalah memberikan pelajaran, pengarahan dan nasehat mulia untuk kemanfaatan anaknya di dunia dan di akherat.

Bukan menghalangi-halangi suatu perbuatan yang syar’iyyah, kemudian memaksakan kehendaknya agar anaknya mengikutinya dan menurutinya walaupun dengan sangat terpaksa. Hal yang demikian tentulah sangat tidak Islami, karena itu bukanlah adab dan akhlaq yang ada di dalam Islam. Perhatikanlah kejadian yang sangat menarik pada zaman Nabi yang mulia Muhammad n, yang akan menjadi pelajaran yang sangat berharga dalam masalah ini khususnya kepada para wali, insya Allah:

عَن خَنساءَ بِنتِ خِدامٍ الأنْصاريَّةِ أنَّ أباها زَوَّجَها وهي ثيِّبٌ فكَرِهَت ذلك فجاءت رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فذكرت ذلك له فَرَدَّ نِكاحَها

 Dari Khansâ’ al-Anshâriyyah x (dia berkata): Sesungguhnya bapaknya telah menikahkannya (dengan seorang laki) dan (ketika itu) dia sebagai seorang janda, maka dia tidak menyukainya. Lalu dia mendatangi Rasûlullâh n (mengadukan halnya), maka Beliau kemudian membatalkan pernikahannya.

 Hadits Shahih. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhâri (no: 5138, 5139, 6945 & 6969), Abu Dâwud (no: 2101), an-Nasâi (no: 3268) dan Ibnu Mâjah (no: 1873) dan yang selain mereka.

Hadits yang lain:

عنْ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضي الله عنهما – أن جاريةَ بكرٍ أتت النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ فذكرت أن أباها زوَّجها وهي كارهةٌ فخيَّرها النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم

Dari Ibnu Abbâs z (dia mengatakan) bahwasanya seorang gadis pernah datang menemui Nabi n , lalu dia menceritakan (halnya) kepada Beliau n bahwa sesungguhnya bapaknya telah menikahkannya (dengan seorang laki) sedangkan dia tidak menyukainya.” Maka Nabi n telah memberikan hak kepadanya untuk memilih (apakah dia akan melanjutkan pernikahannya atau membatalkannya).

Hadits Shahih. Telah dikeluarkan oleh Abu Dâwud (no: 2096) dan Ibnu Mâjah (no: 1875)

Keempat: Di dalam Islam, seorang bapak atau wali yang lainnya tidak boleh menghalangi pernikahan anaknya dengan alasan yang tidak syar’iyyah

sebagaimana firman Allah:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ ۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ مِنكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۗ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Apabila kamu mentalak istri-istri kamu, lalu habis masa ’iddahnya, maka dari itu janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka nikah lagi denganbakal suaminya, apabila telah terdapat keridhaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allâh dan hari akhir. Itu lebih baik bagi kamu dan lebih suci. Allâh yang mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”.

(QS. Al-Baqarah/2:232)

Sebab turun ayat ini dijelaskan dalam sebuah hadits shahih, yaitu:

عَنِ الحَسَنِ، {فلا تَعْضُلُوهُنَّ} [البقرة: 232] قَالَ: حدَّثَني مَعْقِلُ بنُ يَسَارٍ، أنَّهَا نَزَلَتْ فِيهِ، قَالَ: زَوَّجْتُ أُخْتًا لي مِن رَجُلٍ فَطَلَّقَهَا، حتَّى إذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا جَاءَ يَخْطُبُهَا، فَقُلتُ له: زَوَّجْتُكَ وفَرَشْتُكَ وأَكْرَمْتُكَ، فَطَلَّقْتَهَا، ثُمَّ جِئْتَ تَخْطُبُهَا، لا واللَّهِ لا تَعُودُ إلَيْكَ أبَدًا، وكانَ رَجُلًا لا بَأْسَ به، وكَانَتِ المَرْأَةُ تُرِيدُ أنْ تَرْجِعَ إلَيْهِ، فأنْزَلَ اللَّهُ هذِه الآيَةَ: {فلا تَعْضُلُوهُنَّ} [البقرة: 232] فَقُلتُ: الآنَ أفْعَلُ يا رَسولَ اللَّهِ، قَالَ: فَزَوَّجَهَا إيَّاهُ.

Dari Hasan (al-Bashri), dia berkata tentang tafsir ayat (yang artinya): …” maka dari itu janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka…” Telah menceritakan kepada kami Ma’qil bin Yasâr z bahwa ayat yang mulia ini turun berkenaan dengan dirinya. Dia z mengatakan, “Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang lelaki, kemudian lelaki tersebut mentalaknya. Ketika saudara perempuanku tersebut telah habis masa iddahnya, lelaki itu (mantan suaminya) datang kepadaku untuk meminang saudara perempuanku (untuk menikahinya kembali). Lalu aku mengatakan kepadanya, “Aku telah menikahkanmu dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku telah memuliakanmu, kemudian kamu mentalaknya. Sekarang kamu datang (kepadaku) untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allâh! Dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya.” Padahal lelakiitu adalah lelaki yang baik dan perempuan itu juga menghendaki rujû (kembali) kepadanya. Maka, Allâh k menurunkan ayat ini (yang artinya): …” maka dari itu janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka…”

Lalu aku mengatakan, “Sekarang aku akan mengerjakannya (mewalikan dan menikahkannya), wahai Rasulûllâh!”

Kemudian Ma’qil bin Yasâr menikahkan saudara perempuannya itu dengan lelaki-lelaki tersebut. Hadits Shahih. Telah dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâri (no. 5130 dan ini adalah lafazhnya), Abu Dawud (no. 2089) dan at-Tirmidzi (no. 2981) dan yang selain mereka.

Hadits yang mulia ini menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut di atas, dimana Ma›qil bin Yasâr z telah menghalangi pernikahan saudara perempuannya dengan mantan suaminya, padahal keduanya telah sama-sama mau dan ridha.

Inti dari ayat di atas, para wali dilarang menghalangi pernikahan anak-anak mereka, baik sebagai gadis maupun janda, seperti kejadian pada zaman Rasûlullâh n yang menjadi sebab turunnya ayat yang mulia ini, di mana janda tersebut telah dihalangi oleh walinya yaitu saudaranya untuk menikah lagi (rujû’) dengan bekas suaminya padahal keduanya telah saling ridha’.

Kelima: Dalam Islam, seorang bapak atau wali yang lainnya tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak perempuannya seenaknya saja kepada laki-laki yang dia inginkan tanpa seizin dan sepengetahuan anaknya yang masih gadis.

Atau tanpa persetujuan dan perintah dari anaknya yang telah janda. Maka janganlah dia menikahkan anak-anak perempuannya tanpa seizin, sepengetahuan, persetujuan, kehendak, kemauan dan perintah dari anak-anak mereka yang gadis maupun yang telah menjadi janda. Hal ini merupakan adab Islami yang sangat tinggi sekali dalam memelihara kemaslahatan dan menutup rapat-rapat pintu kerusakan yang melebar dan berkepanjangan. Adab Islam yang begitu tinggi ini berdasarkan sabda Rasûlullâh ﷺ :

لا تُنْكَحُ الأيِّمُ حتَّى تُسْتَأْمَرَ، ولا تُنْكَحُ البِكْرُ حتَّى تُسْتَأْذَنَ قالوا: يا رَسولَ اللَّهِ، وكيفَ إذْنُها؟ قالَ: أنْ تَسْكُتَ.

Dari Abu Salamah t (dia berkata), “Sesungguhnya Abu Hurairah z telah menceritakan kepada mereka (para Tabi’in) bahwa sesungguhnya Nabi n telah bersabda, “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sehingga diminta persetujuannya2, dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sehingga diminta izin (persetujuannya)”.

Mereka bertanya, “Wahai Rasûlullâh, (anak gadis itu) bagaimanakah izinnya?”

Beliau n menjawab, “Diamnya (adalah izinnya)3

Hadits Shahih. Telah dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâri (no: 5136, 6968 dan 6970) dan Imam Muslim (no: 1419) dan yang selain keduanya. Hadits yang lain:

عَنْ عَائِشَةَ –رضي الله عنها- أنَّهَا، قَلَتْ يَارَسُولُ اللَّهِ إِنَّ البِكْرَ تَسْتَحْي، فَقَالَ: رِضَهَا صَمْتُهَا

Dari Aisyah, bahwasanya dia bertanya: “Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya anak gadis itu pemalu (bagaimana izinnya)?” Beliau n menjawab, “Ridhanya (maunya) adalah diamnya”.

Hadits Shahih. Telah dikeluarkan oleh Imam alBukhâri (no: 5137, 6945 & 6971) dan Imam Muslim (no: 1420) dan yang selain keduanya.

Hadits yang lain:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه أنَّ النبي  ﷺ قال: الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالبكرُ تُسْتَأْمرُ ، وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا

وَفِيْ رِوَايَةٍ: الثَّيِبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِيْ نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا وَرُبَّمَا قَالَ وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا

Dari Ibnu Abbâs c (dia berkata), “Sesungguhnya Nabi n telah bersabda, “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya4. Dan anak gadis (apabila akan dinikahkan) diminta izinnya, sedangkan izinnya itu adalah diamnya”.

Dalam salah satu riwayat yang lain dengan lafazh, “Seorang janda lebih berhak atas dirinya dari walinya. Dan anak gadis (apabila akan dinikahkan), maka bapaknya (wajib) meminta izinnya, sedangkan izinnya itu adalah diamnya –atau Beliau n bersabda: Diamnya adalah persetujuannya–“.

Hadits Shahih. Telah dikeluarkan oleh Imam Muslim (no: 1421) dan yang selainnya sebagaimana telah saya jelaskan takhrîjnya dalam kitab Takhrîj Sunan Abi Dawud (no: 2098 – 2100).

Keenam: Kemudian, apabila wali setelah dinasehati oleh Qâdhi dengan nasehat ilmiyyah berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah tetap pada pendiriannya tidak mau mewalikan dan menikahkan anak perempuannya dengan alasan yang tidak syar’iyyah, maka ketika itu Qâdhi menyatakan dengan tegas kepada para wali, bahwa hak kewaliannya dicabut dan telah berpindah kepadanya, dan sekarang dialah yang mempunyai hak mutlak dan berhak menikahkan anaknya kalau anaknya mau. Dan dalam masalah ini seorang anak tidaklah dianggap durhaka kepada orang tuanya apabila dia tidak mau mengikuti kemauan mereka para wali yang telah menghalangi pernikahannya secara syar’iyyah5.

Semoga uraian singkat bermanfaat bagi kita semua, terutama orang-orang yang memiliki perwalian dalam pernikahan.

Majalah As-Sunnah Edisi 01/Thn XVIII/Rajab 1435H/Mei 2014M


Footnote:

  1. Yakni dia bukanlah dari orang yang mengikuti Sunnahku dalam masalah ini.
  2. Yakni sampai diminta darinya pernyataannya dan perintahnya dengan tegas mau atau tidak.
  3. Yakni kalau dia tidak mau dia akan mengatakan “tidak mau”. Berarti kalau dia diam saja apabila diberitahukan kepadanya tanpa paksaan secara langsung maupun tidak langsung, menunjukkan bahwa dia setuju atau mau atau ridha’. Dari itu beliau menegaskan bahwa yang menunjukkan keridhaannya adalah diamnya. Inilah umumnya yang terjadi pada setiap anak gadis apabila akan dinikahkan oleh orang tuanya dan dimintai izinnya, yaitu mempunyai sifat malu untuk menyatakan secara langsung. Oleh karena itu dia menyatakan kemauannya dengan diamnya. Berbeda dengan janda, maka para wali harus menunggu perintahnya dengan perkataannya.
  4. Yakni lebih berhak atas dirinya dalam menentukan pilihannya.
  5. Fat-hul Bâri’ Syarh Shahîh al-Bukhâri, Kitab an-Nikâh bab 37 dalam mensyarahkan hadits Ma’qil bin Yasar z pada akhir syarah. Fatâwâ Syaikh al-Albâni dalam majalah al-Ashâlah edisi 6 hlm. 69-70.


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/apabila-wali-tidak-mau-mewalikan-atau-menghalangi-pernikahan/